Masih ingat betul, saat itu, 20 tahun yang lalu, nilai rapor matematika SD saya 5. Ditulis dengan tinta warna merah. Warna yang identik digunakan untuk memberi label “negatif ”  Sedikit di atas 5, warna tak lagi sebenderang itu. Bapak biasanya hanya berdehem sambil manggut – manggut saat membaca dan mendengarkan “dhawuh wali kelas”. Biasanya, guru wali kelas itu akan meminta maaf terlebih dulu jika memang harus memberi warna merah pada mata pelajaran itu. Maklum, guru itu adalah rekan bapak di Yayasan yang sama. Apalagi bapak menyandang status DPK Negeri. Tentu kesungkanan itu semakin bertambah. Meski tetap ada upaya remidi, pemberian tugas, jika tetap muncul merah, maka dipastikan saya termasuk orang yang “lemah” di pelajaran matematika. Dan tentu saja memalukan.

Pada saat itu, kemampuan siswa benar – benar diteropong lewat angka – angka yang muncul di rapor. Sehingga pola perbaikan dan intervensi difokuskan pada pelajaran penghasil angka merah tersebut. Maka bimbingan belajar, dimulai dari gurunya sendiri, les privat, hingga kursus – kursus swasta yang berdiri memberikan bantuan layanan. Entah, biasanya pula, setelah ikut, nilai – nilai berikutnya tak ada yang merah lagi.

49 tahun berikutnya, angka – angka itu menjadi berubah fungsi. Bukan lagi sebagai indikator kemampuan siswa tetapi menjadi tanda evaluasi sebagai bagian terpadu dari proses pembelajaran, fasilitasi pembelajaran, dan penyediaan informasi yang holistik, sebagai umpan balik untuk guru, murid, dan orang tua/wali agar dapat memandu mereka dalam menentukan strategi pembelajaran selanjutnya. Pengertian itu tak mencantumkan pernyataan kemampuan seorang siswa. Sebaliknya, menjadi tolok ukur bagaimana seorang guru mempersiapkan proses mengajarnya, yang berbanding terbalik dengan paradigma tentang penilaian terdahulu.  Penilaian dirancang secara adil, proporsional, valid, dan dapat dipercaya. Dimana dari hasil penyelesaian siswa terhadap soal yang disiapkan itu akan memunculkan angka – angka yang berbeda satu dengan yang lain yang harus dianalisa oleh guru dalam proses pembelajaran selanjutnya

Tentu, jika itu diterapkan jauh – jauh hari, wali kelas saya saat itu tak akan perlu sungkan lagi sama bapak, dan saya pun tak perlu menangung malu (Yudi)

Leave a Comment