24-25 November 1945 tahun lalu, para tokoh pendidik berkumpul pasca huru hara kemerdekaan RI tahun 1945. Tak kurang Amin Singgih, R. H. Kusnan dan kawan – kawan memelopori berdirinya sebuah wadah perjuangan baru untuk mereka yang tak mengangkat senjata, melawan pendudukan Jepang, serta agresi militer Belanda. Wadah perjuangan ini bernama Persatuan Guru Republik Indonesia. Tugas mereka sederhana, namun sangat mulia.

  1. Mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia.
  2. Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran dengan dasar kerakyatan.
  3. Membela hak dan nasib buruh umumnya, serta hak dan nasib guru khususnya.

lalu, tahun 1994, melalui Keputusan Presiden Ri No. 78, Ditetapkanlah tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional.

Dari waktu ke waktu, relasi Guru – Siswa tidaklah berubah. Tugas utamanya adalah untuk mendidik, membimbing, mengajar, mengarahkan, menilai, melatih dan mengevaluasi para peserta didik untuk jalur pendidikan formal pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, hingga pendidikan menengah. Guru adalah agen perubahan yang bertujuan untuk menghasilkan generasi yang unggul dan kompetitif. 

Barangkali yang berbeda adalah metode proses transformasi pengetahuan kepada anak didiknya. Tidak mengherankan jumlah guru milenial (berusia 25-40) tahun sangat mendominasi posisi guru berdasarkan usia. Angka ini setara dengan 29,29% dari 2.906.239 guru di Indonesia, atau lebih dari 800.000 guru, ditambah lagi sebanyak 514.233 guru berusia 20 hingga 29 tahun, serta 3000 orang dibawah usia itu.

Sehingga tak mengherankan metode/cara pembelajaran pun disesuaikan dengan gaya – gaya “alami” guru milenial itu. Mereka mencoba membangun kedekatan dengan anak didiknya lewat berbagai cara. Media sosial misalnya. Adalah salah satu cara yang digunakan untuk berinteraksi. Beberapa video pendek, di platform video berbagi menunjukkan keakraban mereka. Seorang netizen nyeletuk, .. ngonten terus, kapan belajarnya ?. 

ngonten terus, kapan belajarnya ?

Ada yang sama dari begitu banyak konten “keakraban” itu, dan itu meresahkan, yakni adab. Bagaimana para siswa dapat belajar adab dengan baik melihat seseorang yang seharusnya diteladani, tiba – tiba menjadi bagian dari mereka ? 

Tentu keresahan ini akan membuka peluang diskusi. Bagaimana sih cara membangun interaksi dengan siswa dengan tanpa kehilangan Adab.

Sebuah tantangan menarik ! (Yudi)

Leave a Comment